Rumah yang
mewah, uang yang berlebihan dan fasilitas hidup yang lebih dari cukup ternyata
bukan kunci kebahagiaan untuk seorang wanita. Apalagi untuk seorang wanita yang
muda, cantik dan penuh vitalitas hidup seperti Sari. Sudah satu bulan ini ia
ditinggal suaminya bertugas ke luar kota. Padahal mereka belum lagi enam bulan
menikah. Pasti semakin mengesalkan juga, untuk Sari, kalau tugas dinas luar
kota diperpanjang di luar rencana. Seperti malam itu, ketika Baskoro, suami
Sari, menelepon untuk menjelaskan bahwa ia tidak jadi pulang besok karena
tugasnya diperpanjang 2 – 3 minggu lagi. Sari keras mem-protes, tapi menurut
suaminya mau tidak mau ia harus menjalankan tugas.
Waktu Sari merayunya, supaya
bisa datang untuk ‘week-end’ saja, Baskoro menolak. Katanya terlalu repot
jauh-jauh datang hanya untuk sekedar ‘indehoy.’ Dengan hati panas Sari
bertanya: “Lho mas, apa kamu nggak punya kebutuhan sebagai laki-laki?” Mungkin
karena suasana pembicaraan dari tadi sudah agak tegang seenaknya Baskoro
menjawab, … “Yah namanya laki- laki, di mana aja kan bisa dapet.” Dalam keadaan
marah, tersinggung, bercampur gemas karena birahi, Sari membanting gagang
telepon. Ia merasa sesuatu yang ‘nakal’ harus ia lakukan sebagai balas dendam
kepada pasangan hidup yang sudah demikian melecehkannya. Kembali ia teringat
kepada pembicaraannya dengan Minah beberapa hari yang lalu, kala ia tanyakan
bagaimana pembantu wanitanya itu menyalurkan hasrat sex-nya. Waktu itu ia
bercanda mengganggu janda muda yang sedang mencuci piring di dapur itu. “Minah,
kamu rayu aja si Iman. Kan lumayan dapet daun muda.” Minah tersenyum malu-malu.
Katanya, “Ah ibu bisa aja … Tapi mana dia mau lagi.” Lalu sambil menengok ke
kanan ke kiri, seolah-lah takut kalau ada yang mendengar Minah mengatakan
sesuatu yang membuat darah sari agak berdesir. “Bu, si Iman itu orangnya
lumayan lho.
Apalagi kalau ngeliat dia telanjang nggak pakai baju.” Pura- pura
kaget Sari bertanya dengan nada heran: “Kok kamu tau sih?” Tersipu-sipu Minah
menjelaskan. “Waktu itu malam-malam Minah pernah ke kamarnya mau pinjem balsem.
Diketuk-ketuk kok pintunya nggak dibuka. Pas Minah buka dia udah nyenyak tidur.
Baru Minah tau kalau tidur itu dia nggak pakai apa-apa.” Tersenyum Sari
menanyakan lebih lanjut. “Jadi kamu liat punyaannya segala dong?” Kata Minah
bersemangat, “Iya bu, aduh duh besarnya. Jadi kangen mantan suami. Biarpun
punyanya nggak sebesar itu.” Setengah kurang percaya Sari bertanya, “Iman? Si
Iman anak kecil itu?” “Iya bu!” Minah menegaskan. “Iya Iman si Pariman itu. Kan
nggak ada yang lainnya tho bu.” Lalu dengan nada bercanda Sari bertanya
mengganggu,”Terus si Iman kamu tomplok ya?” Sambil melengos pergi Minah
menjawab, “Ya nggak dong bu, “” kata Minah sambil buru-buru pergi.
Dalam keadaan
hati yang panas dan tersinggung jalan pikiran Sari menjadi lain. Ia yang
biasanya tidak terlalu memperdulikan Iman, sekarang sering memperhatikan pemuda
itu dengan lebih cermat. Beberapa kali sampai anak muda itu merasa agak rikuh.
Dari apa yang dilihatnya, ditambah cerita Minah beberapa hari yang lalu, Sari
mulai merasa tertarik. Membayangkan ‘barang kepunyaan’ Iman, yang kata Minah
“aduh duh” itu membuat Sari merasa sesuatu yang aneh. Mungkin sebagai
kompensasi atau karena gengsi sikapnya menjadi agak dingin dan kaku terhadap
Iman. Iman sendiri sampai merasa kurang enak dan bertanya- tanya apa gerangan
salahnya. Pada suatu hari, setelah sekian minggu tidak menerima ‘nafkah
batin’nya, perasaan Sari menjadi semakin tak tertahankan. Malam yang semakin
larut tidak berhasil membuatnya tertidur. Ia merasa membutuhkan sesuatu.
Akhirnya Sari berdiri, diambilnya sebuah majalah bergambar dari dalam lemari
dan pergilah ia ke kamar Iman di loteng bagian belakang rumah. Pelan-pelan
diketuknya pintu kamar Iman. Setelah diulangnya berkali-kali baru terdengar ada
yang bangun dari tempat tidur dan membuka pintu.
Wajah Iman tampak kaget
melihat Sari telah berdiri di depannya. Apalagi ketika wanita berkulit putih
yang cantik itu langsung memasuki ruangannya. Agak kebingungan Iman melilitkan
selimut tipisnya untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Melihat tubuh Iman yang
tidak berbaju itu Sari menelan air liurnya. Lalu dengan nada agak ketus ia
berkata, “Sana kamu mandi, jangan lupa gosok gigi.” Iman menatap kebingungan,
“Sekarang bu?” Dengan nada kesal Sari menegaskan, ‘Ia sekarang ,,, udah gitu
aja nggak usah pake baju segala.” Tergopoh-gopoh Iman menuju ke kamar mandi,
memenuhi permintaan Sari. Sementara Iman di kamar mandi Sari duduk di kursi,
sambil me!ihat- lihat sekitar kamar Iman. Pikirnya dalam hati, “Bersih, rapih
juga ini anak.”Kira-kira sepuluh atau lima belas menit berselang Iman telah
selesai. “Maaf bu …,” katanya sambil memasuki ruangan. Ia hanya mengenakan
handuk yang melilit di pinggangnya.”Saya pake baju dulu bu,” katanya sambil
melangkah menuju lemari pakaiannya. Dengan nada ketus Sari berkata,”Nggak usah.
Kamu duduk aja di tempat tidur … Bukan, bukan duduk gitu, berbaring aja.” Lalu
sambil melempar majalah yang dibawanya ia menyuruh Iman membacanya. Sambil
melangkah keluar Sari sempat berkata “Sebentar lagi saya kembali.” Dengan kikuk
dan kuatir Iman mulai membalik halaman demi halaman majalah porno di tangannya.
Tapi ia tidak berani bertanya kepada Sari, apa sebenarnya yang wanita itu
inginkan. Setelah saat-saat yang menegangkan itu berlangsung beberapa lama,
Iman mulai terangsang juga melihat berbagai adegan senggama di majalah yang
berada di tangannya itu. Ia merasa ‘alat kejantanannya mengeras. Tiba-tiba
pintu kamar terbuka dan Sari melangkah masuk. Iman berusaha bangkit, tapi
sambil duduk di tepi pembaringan Sari mendorong tubuhnya sampai tergeletak
kembali. Tatapan matanya dingin, sama sekali tidak ada senyuman di bibirnya.
Tapi tetap saja ia terlihat cantik. “Iman dengar kata-kata saya ya. Kamu saya
minta melakukan sesuatu, tapi jangan sampai kamu cerita ke siapa- siapa.
Mengerti?” Iman hanya dapat mengangguk, walaupun ia masih merasa bingung.
Hampir ia menjerit ketika Sari menyingkap handuknya terbuka. Apalagi ketika
tangannya yang halus itu memegang ‘barang kepunyaan’nya yang tadi sudah tegang
keras. “Hm ….. Besar juga ya punya kamu,” demikian Sari menggumam.
Diteruskannya mengocok-ngocok ‘daging kemaluan’ Iman, dengan mata terpejam.
Pelan-pelan ketegangan Iman mulai sirna, dinikmatinya sensasi pengalamannya ini
dengan rasa pasrah. Tiba-tiba Sari berdiri dan langsung meloloskan daster yang
dikenakannya ke atas. Bagai patung pualam putih tubuhnya terlihat di mata Iman.
Walaupun lampu di kamar itu tidak begitu terang, Iman dapat menyaksikan
keindahan tubuh Sari dengan jelas.
Tertegun ia memandangi Sari, sampai beberapa
kali meneguk air liurnya. Tidak lama kemudian Sari naik ke tempat tidur,
diambilnya posisi mengangkangi Iman. Masih dengan nada ‘judes’ ia berkata …
“Yang akan saya lakukan ini bukan karena kamu, tapi karena saya mau balas
dendam. Jadi jangan kamu berpikiran macam-macam ya.” Lalu digenggamnya lagi
‘tonggak kejantanan” Iman dan diusap- usapkannya ‘bonggol kepala’nya ke bibir
ke’maluan’nya sendiri. Terus menerus dilakukannya hal ini sampai ‘vagina’nya
mulai basah. Lalu ditatapnya Iman dengan pandangan yang tajam. Katanya dengan
suara ketus, … “Jangan kamu berani-berani sentuh tubuh saya.” Setelah itu, …
“Juga jangan sampe kamu keluar di ‘punyaan’ saya. Awas ya.” Lalu di-pas-kannya
‘ujung kemaluan’ Iman di ‘bibir liang kewanitaan’nya dan ditekannya tubuhnya ke
bawah. Pelan-pelan tapi pasti ‘barang kepunyaan’ Iman menusuk masuk ke ‘lubang
kenikmatan’ Sari. ‘Aduh … Ah … Man, besar amat sih” demikian Sari sempat
merintih. Setelah ‘kemaluan’ Iman benar- benar masuk Sari mulai menggoyang
pinggulnya. Suaranya sesekali mendesah keenakan. Tidak lama kemudian dicapainya
‘orgasme’nya yang pertama. Hampir seperti orang kesakitan suara Sari
mengerang-erang panjang. “Aah … Aargh … Aah, aduh enaknya … ” Seperti orang
lupa diri Sari mengungkapkan rasa puasnya dengan polos. Tapi ketika Sari sadar
bahwa kedua tangan Iman sedang mengusapi pahanya yang putih mulus, ditepisnya
dengan kasar. “Tadi saya bilang apa …!” Iman ketakutan, … “Maaf bu.” Lalu
perintah Sari lagi, … “Angkat tangannya ke atas.” Iman menurutinya, katanya …
“Baik bu.” Begitu melihat bidang dada dan buluketiak Iman Sari kembali
terangsang. Sekali lagi ia menggoyang pinggulnya dengan bersemangat, sampai ia
mencapai ‘orgasme’nya yang kedua.
Setelah itu masih sekali lagi dicapainya
puncak kenikmatan, walaupun tidak sehebat sebelumnya. Iman sendiri sebetulnya
juga beberapa kali hampir keluar, tapi karena tadi sudah di’wanti-wanti,’ maka
ditahannya dengan sekuat tenaga. Rupanya Sari sudah merasa puas, karena
dicabutnya ‘alat kejantanan’ Iman yang masih keras itu. Dikenakannya kembali
dasternya. Sekarang wajahnya terlihat jauh lebih lembut. Sebelum meninggalkan
kamar Iman sempat ia menunjukkan apresiasi-nya. “Kamu hebat Man …” lalu
sambungnya “Lusa malam aku kemari lagi ya.” Setelah itu masih sempat ia berpesan,
…. “O iya, kamu terusin aja sekarang sama Minah … Dia mau kok.” Iman hanya
mengangguk, tanpa mengucapkan apa-apa. Sampai lama Iman belum dapat tertidur
lelap, membayangkan kembali pengalaman yang baru saja berlalu.
Kehilangan
ke’perjaka’an tidak membuat Iman merasa sedih. Malah ada rasa bangga bahwa
seorang wanita cantik dari kalangan berpunya seperti Sari telah memilih
dirinya.Sesuai pesannya dua malam kemudian Sari datang lagi ke kamar Iman. Kali
ini pemuda itu sudah betul-betul menyiapkan dirinya. Jadi Sari tinggal menaiki
tubuhnya dan menikmati ‘alat kejantanan’nya yang keras itu. Walaupun suaranya
masih ketus meminta Iman untuk sama-sekali tidak menyentuh tubuhnya, kali ini
Sari sampai meremas-remas dada dan pinggul Iman ketika mencapai ‘orgasme’nya.
Bahkan tidak lupa wanita cantik itu sempat memuji pemuda yang beruntung itu.
Katanya, … “Man, Pariman, kamu hebat sekali. Selama kawin aku belum pernah
sepuas sekarang ini. Terma kasih ya.” Iman hanya menjawab terbata-bata, … “Saya
… Saya … seneng … Hm … Bisa nyenengin bu Sari.” Sambil membuka pintu kamar Sari
berpesan. Katanya, …. “Iya Man, tapi jangan bosen ya.” Lalu tambahnya lagi, …
“Udah, sekarang kamu terusin sama Minah sana. Aku mau tidur dulu ya.” Dua malam
kemudian kembali Sari menyambangi kamar Iman. Kebetulan tanpa penjelasan apapun
siangnya ia sempat meminta pemuda itu untuk mengganti seprei ranjang dan sarung
bantalnya. “Man … Kamu capek nggak? Sari bertanya dengan lembut. Rupanya
berkali-kali dipuaskan pemuda itu membuatnya sikapnya lebih ramah. Iman
tersenyum, … “Nggak kok bu. Saya siap dan seneng aja melayani ibu.” Tanpa
malu-malu langsung Sari melepaskan daster- nya. Setelah itu dilorotnya kain
sarung Iman. Dengan takjub ia memandangi kepunyaan lelaki itu. Tanpa sadar
sempat ia memuji, … “Aduh Man, udah besar amat sih kepunyaanmu.” Lalu sambil
mengocok-ngocoknya Sari sempat berkata, … “Hm Man, keras lagi.” Lalu sambil
membaringkan tubuhnya ia meminta, … “Kamu dari atas ya Man. Aku mau coba di
bawah.” Langsung Iman memposisikan ‘kemaluan’nya di antara celah paha Sari.
Lelaki muda itu betul-betul terangsang melihat kemolekan nyonya muda yang
sedang marah kepada suaminya itu.
Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa ia
boleh mencicipi tubuh yang seputih dan semulus ini. Apalagi Sari sekarang tidak
lagi judes dan ketus seperti pada malam-malam sebelumnya, sehingga semakin
tampak saja kecantikannya. Sempat terpikir oleh pemuda itu mungkin judes dan
ketusnya dulu itu hanya untuk mengatasi rasa malu dan gengsinya saja. “Man …”
Sari memanggilnya lembut, setengah berbisik. “Iya bu …” “Kamu gesek-gesek
punyaanmu ke punyaanku dulu ya. Terus masukinnya nanti pelan-pelan.” Diikutinya
permintaan Sari, digesek-geseknya ‘bibir kemaluan’ Sari dengan ‘ujung
kejantanannya.’ Sari mendesah kegelian, hingga membuat Iman lupa diri.
Tangannya mulai mengusap-usap paha dan perut Sari. Tapi wanita cantik itu
menepis tangannya. “Jangan sentuh tubuhku, jangan ….” serunya tegas. Iman
segera berhenti, ditariknya tangannya. Tidak berapa lama kemudian terdengar
Sari meminta. “Man, masukin pelan-pelan Man. Tapi ingat … Jangan sampai keluar
di dalam ya.” Pelan-pelan Iman mendorong ‘batang keras’nya memasuki ‘liang
kenikmatan’ Sari. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, ‘tombak
kejantanan’nya menerobos masuk. Sari terus mendesah keenakan. “Maaf bu, saya
mohon ijin memegang paha ibu, supaya punya ibu lebih kebuka.” Akhirnya Iman
memberanikan diri meminta. Dengan terpaksa Sari mengijinkan, … “Iya deh. Tapi
bagian bawahnya aja ya.” Begitu diberi ijin Iman langsung melakukannya. Walaupun
tubuhnya tegak, karena kuatir menetesi tubuh Sari dengan keringatnya, ia dapat
menghunjamkan ‘barang kepunyaan’nya masuk lebih jauh. “Ah Man, enak sekali.”
Sari berseru keenakan.
Langsung Iman menggoyangkan pinggulnya, ke kanan dan ke
kiri, mundur dan maju. Sari terus mendesah keenakan, semakin lama semakin
keras. Pada puncaknya ia menjerit lembut dan mengerang panjang. “Aduh Man, aku
udah. Aduh enak sekali. Aaah, Maaan …. Aaah!” Sementara beristirahat Iman
menarik keluar ‘batang kemaluan’nya dan melapnya dengan handuk. Dengan tatapan
penuh hasrat Sari memandangi ‘kemaluan’ Iman yang tetap kaku dan keras. Pada
‘ronde’ berikutnya Iman yang bertindak mengambil inisiatif. “Maaf bu …” katanya
sambil kedua tangannya mendorong paha mulus Sari hingga terbuka lebar. Sari
hanya mengangguk lemah, sikapnya pasrah. Rupanya rasa gengsi atau angkuhnya
sudah mulai sirna di hadapan pemuda pejantannya. Ditatapnya wajah Iman dengan
seksama. Sekarang baru ia sadar bahwa Iman bukan hanya jantan, tapi juga
lumayan ganteng. Begitu berhasil menembus ‘liang kemaluan’ Sari, yang merah
merangsang itu, Iman mulai beraksi. Sekali lagi goyangannya berakhir dengan
kepuasan Sari. … setelah itu sekali lagi … Sari tergolek lemah. Dibiarkannya
Iman memandangi tubuhnya yang terbaring tanpa busana. Mungkin karena itulah
‘alat kejantanan’ Iman, yang memang belum ber-’ejakulasi,’ tetap berada dalam
keadaan tegang. “Man … ” suara Sari terdengar memecah keheningan. “Kamu kok
hebat sekali sih? Udah sering ya?” Iman menggelengkan kepalanya. “Belum pernah
bu. Baru sekali ini saya melakukan. Sama ibu ini aja.” Dengan heran Sari
menatapnya, lalu tersenyum karena teringat sesuatu. Tanyanya langsung, … “Tapi
udah dikeluarin sama Minah kan?” Jawab Iman, … “Belum kok bu.” Semakin heran
Sari. “Lho yang kemarin-kemarin itu? Kan udah saya kasih ijin.” Dengan polos
Iman menjawab, … “Iya bu, tapi saya nggak kepengen.” Sari penasaran, … “Lho
kenapa?” Dengan polos Iman menjawab, … “Abis barusan sama ibu yang cantik,
masa’ disambung sama mbak Minah. Rasanya kok eman-eman ya bu.” “Jadi selama ini
kamu tahan aja?” Jawab Iman, … “Iya bu, menurut saya kok sayang.” Entah
bagaimana Sari merasa senang mendengar jawaban Iman. Ada rasa hangat di
hatinya. “Ah sayang aku udah puas. Mana besok mens lagi …” Tapi ada rasa kasihan
juga yang membersit di hatinya. Hebat juga pengorbanan Iman, yang lahir dari
penghargaan kepadanya itu. Akhirnya ia mengambil keputusan …
“Sini Man,
sekarang kamu yang baring di sini.” Kata Sari sambil bangun dari posisinya
semula. Iman menatapnya dengan pandangan bertanya, tapi diikutinya permintaan
majikannya. Sari segera membersihkan ‘barang kepunyaan’ Iman dengan handuk.
Karena dipegang-pegang ‘daging berurat’ milik Iman kembali mengeras penuh.
Sambil duduk di tepi ranjang Sari mulai mengelus-elusnya. Sempat ia berdecak
kagum menyaksikan kekokohan dan kerasnya. Dirasakannya ukuran ‘daging keras’
Iman yang besar, ketika berada dalam genggaman tangannya. Keenakan Iman, hingga
matanya sesekali terpejam. Bibirnya juga mendesis, bahkan sesekali mengerang. Tangan
kanannya di tempatkannya di bawah kepalanya. Tangan kirinya mengusap-usap
lengan Sari yang sedang mengocok-ngocok ‘barang kepunyaan’nya. Kali ini Sari
membiarkan apa yang pemuda itu ingin lakukan. Setelah beberapa saat berlalu
Iman mulai mendekati puncak pengalamannya. “Bu, saya hampir bu” Lalu lanjutnya
lagi, “Awas bu, awas kena, saya udah hampir.” Sari hanya tersenyum. Katanya,
“Lepas aja Man, nggak apa-apa kok.” Setelah berusaha menahan, demi
memperpanjang kenikmatan yang dirasanya, akhirnya Iman terpaksa menyerah. “Aduh
bu aduuuh aaah …” Cairan kental ‘muncrat’ terlontar berkali- kali dari ‘daging
keras’nya, yang terus dikocok-kocok Sari. Tanpa sadar kedua tangan Iman
mencengkeram lengan Sari dan menariknya. Tubuh wanita itu tertarik mendoyong ke
atas tubuh Iman.
Akibatnya cairan kental Iman juga tersembur ke dada dan
perutnya. Tapi Sari membiarkannya saja, seakan-akan menyukainya. Setelah ‘air
mani’nya terkuras habis baru Iman sadar atas perbuatannya. “Maaf bu, saya tidak
sengaja …” Matanya terlihat kuatir. Sari hanya tersenyum, “Nggak apa-apa kok
Man.” Lalu sambungnya, … “Aduh Man, kentelnya punyaan kamu. Banyak amat sih
muatannya. .” Iman bernafas lega, apalagi ketika dilihatnya Sari melap badannya
sendiri, lalu setelah itu badan dan ‘batang terkulai’ miliknya dengan handuk.
Sambil bangkit berdiri Sari mengenakan dasternya. Lalu ia berdiri di depan Iman
yang masih duduk di tepi pembaringan. “Menurut kamu aku cantik nggak Man?”
Tanyanya kepada pemuda itu. “Cantik dong bu, cantik sekali.” Sambil mengelus
pipi Iman ia bertanya lagi, … “Kamu bisa nggak sementara nahan dulu?” Iman
terlihat kecewa, “Berapa hari bu?” Tersenyum manis Sari menjwab, Yah, sekitar
5-6 hari deh.” Iman mengangguk tanda mengerti dan menatapnya dengan pandangan
sayang. Sari membungkuk dan meremas ‘batang kemaluan’ Iman yang masih lumayan
keras. “Punya kamu yang besar ini simpan baik- baik ya buat aku.” Lalu dengan
gayanya yang manis ‘kemayu’ ia membuka pintu dan melangkah keluar.Sementara
berlangsungnya masa penantian cukup banyak perubahan yang terjadi. Iman
sekarang nampak lebih baik penampilannya daripada waktu-waktu sebelumnya.
Rambutnya ia cukur rapi dan pakaian yang dikenakannya selalu bersih.
Ia sendiri
tampak semakin PD atau percaya diri, kalaupun sikapnya kepada Sari tetap sopan
dan santun. Apalagi ia yang dulu-dulu tidak pernah dipandang sebelah mata, oleh
nyonyanya, sekarang sering diajak mengobrol atau menonton TV. Semua ini tentu
saja menimbulkan tanda-tanya, terutama dari orang-orang seperti Minah. Apalagi
Sari sering tanpa sadar membicarakan tentang Iman, dengan nada yang memuji. Di
waktu malam Sari kadang-kadang terlihat melamun sendiri. Tapi rupanya bukan
memikirkan tentang suaminya yang lama bertugas ke luar Jawa. Ia malah sedang
merindukan orang yang dekat-dekat saja. Setelah selesai masa menstruasi-nya
Sari masih menunggu dua hari lagi, setelah itu baru ia merasa siap. Sore itu
ketika berpapasan dengan Iman ia memanggilnya. “Shst sini Man.” Iman
menghampirinya, … “Ada apa bu?” Dengan berseri-seri Sari menjelaskan, … “Nanti
malam ya.” Iman merasa senang. “Udah bu? Kalau begitu saya tunggu di kamar saya
ya bu. Nanti saya beresin.” Tapi kata Sari, … “Ah jangan, kamu aja yang ke
kamarku. Jam 11-an ya?” Sambil melangkah pergi dengan tersenyum Iman
mengiyakan. Sari benar-benar ingin tampil cantik. Dibasuhnya tubuhnya dengan
sabun wangi merk ‘channel.’ Tidak lupa dikeramasnya juga rambutnya yang hitam,
panjang dan lebat itu. Lalu dikenakannya gaun malam yang paling ’sexy,’ yang
terbuka punggung dan lengannya. Sengaja tidak dipakainya ‘bra.’ Setelah itu
masih dibubuhinya tubuhnya dengan ‘perfume’ dan sedikit kosmetik. Begitu juga
dengan Iman. Setelah mandi dan keramas dipakainya ‘deodorant’ dan ‘cologne’
pemberian Sari.
Jam sebelas kurang sudah diketuknya pintu ruang tidur utama,
yaitu kamar Sari. Sari membuka pintu dan menggandeng tangan Iman. Pemuda itu
tertegun menyaksikan kecantikan wanita yang berkulit putih itu. Sari mengajak
Iman duduk di tepi ranjang. Ditatapnya mata pemuda itu yang balik menatapnya
dengan rasa kagum. Sari tersenyum. “Malam ini kamu hanya boleh manggil aku Sari
atau sayang. Mau kan?” Iman mengangguk sambil menelan ludah. Kata Sari lagi, …
“Malam ini ini kamu boleh memegang saya dan melakukan apa aja yang kamu mau.”
Agak gugup Iman menjawab, … “Eng … Terima kasih … Eng … Sayang. Kamu kok baik
sekali. Kenapa? Saya ini orang yang nggak punya apa-apa dan nggak bisa ngasih
apa-apa.” Sari merangkulkan tangannya ke leher Iman dan menidurkan kepalanya di
bahu iman. “Kamu salah Man. Kamu itu laki-laki yang bisa memberi saya kepuasan
yang total. Sejak kawin saya belum pernah mengalami seperti yang saya dapat
dari kamu.” Lalu sambil tersenyum Sari meminta, … “Sini Yang, cium aku.” Iman
mendekatkan bibirnya ke bibir Sari, lalu menciumnya. Tapi karena kurang
berpengalaman akhirnya Sari yang lebih agresif, baru kemudian Iman mengikuti
secara lebih aktif. Kedua bibir itu akhirnya saling berpagutan dengan penuh
semangat. Dengan penuh gairah Sari melepas baju Iman. Sebaliknya Iman agak
malu-malu pada awalnya, tapi akhirnya menjadi semakin berani.
Dilepasnya gaun
malam Sari, sambil diciuminya lehernya yang ramping, panjang dan molek itu.
Dengan gemas tangannya meremas buah dada Sari yang ranum. Karena Sari
membiarkan saja akhirnya ia berani menciumi, lalu mengulum puting buah dada
yang indah itu. Sari kegelian. Tangannya mengusap- usap tonjolan di celana
Iman. Kemudian dibukanya ‘ruitslijting’ celananya. Tangannya menguak celana
dalam Iman dan masuk untuk menggenggam ‘batang kemaluan’nya yang telah
mengeras. Tangan Iman juga langsung melepas celana dalam Sari, kemudian
langsung ditaruhnya tangannya di celah paha Sari. Wanita cantik itu mengerang
nikmat, rupanya sebelum dengan Iman rasanya cukup lama juga ‘milik berharga’nya
itu tidak disentuh tangan lelaki. Kemudian Sari berlutut di depan Iman, hingga
membuat pemuda itu merasa jengah. Ditariknya celana panjang Iman, sampai lepas.
Lalu dimintanya Iman berbaring di tempat tidur. Iman sempat merasa agak kikuk,
tapi gairah Sari segera membuatnya merasa nyaman. Dipeluknya wanita itu dikecup-kecupnya
lengan, dada, perut, bahkan pahanya. Karena kegelian Sari mendorong dada Iman
hingga sampai terbaring. Sekarang gantian ia yang menciumi tubuh pemuda itu.
Dengan mantap dilorotnya celana dalam Iman hingga terlepas. Cepat digenggamnya
‘batang kemaluan’ Iman yang sudah tegang keras berdenyut-denyut. “Man, Iman,
besarnya punya kamu. Keras lagi …” Iman tersenyum, … “Abis kamu cantik sih
Yang.” Sambil mengocok- ngocok ‘kemaluan’ Iman dengan manja Sari berkata, …
“Rasanya aku gemes deh Man.” Iman tersenyum nakal, entah apa yang ada
dipikirannya. Ia hanya menanggapi singkat, … “Kalau gemes gimana dong Yang?”
Sari tersenyum manis. Tiba-tiba diciuminya ‘kemaluan’ Iman, hingga membuat
pemuda itu terkejut. Dengan tatapan heran, tapi senang, dilihatnya Sari
kemudian menjilati ‘alat kejantanan’nya. Mulai dari ‘bonggol kepala,’ terus
sepanjang ‘batang’nya, bahkan sampai ke ‘kantung buah zakar’nya. Ketika Sari
mengulum ‘kemaluan’nya di mulutnya Iman mengerang keenakan. “Aduh sayang, aduh
enak sekali … Ah enaknya.” Akhirnya Iman tidak tahan lagi. Ditariknya Sari
dengan lembut lalu dibaringkannya terlentang.
Didorongnya kedua paha Sari
hingga terbuka lebar. Masih sempat diciumi dan dijilatinya tubuh Sari bagian
atas, termasuk mengemut puting buah dadanya seperti bayi yang lapar. Lalu
pelan-pelan didorongnya ‘alat kejantanan’nya masuk, menguak bibir ‘vagina’ Sari
yang ranum, menyusuri liang kenikmatannya. “Pelan-pelan Man, … Punya kamu
terasa besar amat sih malam ini, … Aah …” Sari mengerang keenakan. Akhirnya dengan
sentakan terakhir Iman menghunjamkan ‘batang kemaluan’nya yang besar itu masuk.
Begitu ia menggoyang pinggulnya Sari langsung mendesah. Rasanya nikmat sekali
digagahi pemuda yang penuh vitalitas dan enerji ini. Iman terus menggerakkan
‘alat kejantanan’nya maju mundur, hingga membuat
Sari mendesah dengan tanpa
henti. Akibat gaya Iman yang agresif ini Sari tidak mampu menahan dirinya lebih
dari 10 menit. Ia merasa seperti dilambungkan tinggi, sewaktu dicapainya puncak
‘orgasme’nya yang pertama. “Aduh Man, aduh, aku sayang kamu …. Aaah” Erangan
panjang keluar dari bibir Sari. Tapi Iman ternyata masih kuat. Diteruskannya
gerakan maju- mundur dengan pinggulnya. Akibatnya sensasi nikmat Sari, yang
tadi hampir mereda, mulai meningkat lagi. Lima belas menit atau dua puluh menit
berlalu sampai terdengar lagi jeritan Sari. “Man … Pariman … Yang … Aku lagi …
Yang … Aaah … Aaah” Sekali inipun Iman merasa sudah hampir tiba di ujung daya
tahannya. “Sari … Sayang, saya hampir …. Boleh?” Dengan nafas tersengal-sengal Sari
memintanya, … “Iya Man, lepas sekarang Man …” Segera Iman mendorong dengan
hentakan- hentakan keras. “Sari … Sayang … Aaah” Begitu Iman menyemburkan
’sperma’nya ke dalam ‘vagina’ Sari, ujung kepala kemaluannya berdenyut-denyut.
Akibatnya Sari kembali merasa kegelian yang nikmat. “Man aduh Man aduh …” Sari
terkulai lemah. “Peluk aku dong Yang …” Disusupkannya kepalanya di ketiak Iman.
Tangannya mengusap-usap dadanya yang berkeringat. “Kamu puas Man …?” Tanya Sari
kepada Iman. “Puas Sayang, puas sekali”
Dalam keheningan malam mereka berdua
terbaring saling berpelukan, sampai Iman merasa tenaganya pulih. Sekali lagi ia
minta dilayani. Walaupun Sari sudah merasa cukup, dipenuhinya kemauan pejantan
mudanya itu. Dengan kagum dirasakannya bagaimana sekali lagi ia dipuaskan oleh
birahi Iman. Akhirnya baru menjelang subuh Iman beranjak pergi untuk kembali ke
kamarnya.
0 Response to "Pemuda Lugu dan Tante Sexy"
Posting Komentar